Friday, April 18, 2008

Hikayat Lebah Ratu

The following has nothing less to do with economics. It just so happened that a friend invited me to come to his book launch. I thought I heard it wrong when he said he also wanted me to say something about his poems. I had no idea what to say. So I just mumbled:


Hikayat Lebah Ratu: Membaca Nirwan Dewanto

Arianto A. Patunru
Penyuka Sastra

Ketika Bung Nirwan Dewanto memberitahu saya rencananya meluncurkan Jantung Lebah Ratu, reaksi saya ada dua. Pertama, saya sadar: saya ini awam puisi, bahkan tidak mengerti dunia puisi. Kedua, judul koleksi Bung Nirwan mengingatkan saya kepada sebuah artikel dalam Journal of Law and Economics tahun 1973, "The Fable of the Bees: An Economic Investigation" (Hikayat Lebah: Sebuah Penyelidikan Ekonomi) yang ditulis oleh Steven Cheung.[1]

Hikayat Lebah-nya Cheung adalah kritik terhadap kisah. Tepatnya, penggunaan kisah untuk argumentasi. Ideologi mungkin bukanlah asing dalam perjalanan ilmu, termasuk ekonomi. Namun ia tidak musti sakral. Ia butuh bukti teoretis atau empiris. Argumentasi pun dibubuhi kisah dan hikayat. Mudahnya ekonom menutur kisah demi memperkuat argumennya mengusik Cheung. Dua puluh tahun sebelum Cheung ekonom James Meade berkisah dan berhujjah: pemerintah perlu memberikan subsidi kepada peternak lebah, karena lebahnya, selain membuat madu, juga menyerbuk apel di tetangga sebelah. Tanpa subsidi, jumlah madu dan nektar terlalu kecil.[2] Kisah itu setali tiga uang dengan kisah Arthur Pigou, tiga puluh tahun sebelum Meade. Tentang sebuah pabrik dengan polusi yang mengganggu masyarakat di sekitarnya tanpa ada kompensasi dari pemilik pabrik. Pigou berkata, pemerintah perlu mengenakan pajak polusi, agar udara kembali jernih. Tanpa pajak, jumlah sulfur dan karbon terlalu besar.[3]

Steven Cheung ragu. Benarkah kisah-kisah itu? Kuatkah mereka mendukung argumen-argumen di atas mereka? Cheung kuatir, Pigou dan Meade telah terlalu tergesa-gesa. Maka ia pun turun, bertemu bercengkerama dengan sejumlah peternak lebah dan petani apel. Dan ia menarik nafas. Tanpa pajak dan subsidi, pasar telah bekerja di antara peternak lebah dan petani apel. Dalam musim ketika penyerbukan tidak diperlukan, peternak lebah membayar petani apel agar lebah si peternak boleh berumah di kebun si petani. Dalam musim sebaliknya, petani apel yang membayar peternak lebah agar para lebah sudilah menyerbuk ke sana. Pesan dari Cheung jelas: jangan buru-buru memutuskan. Datang dan lihatlah.

Begitulah yang saya ingat.

Karenanya, ketika Bung Nirwan mengirimkan Jantung Lebah Ratu, saya kira saya akan membaca puisi-puisi lebah bernada Cheung: kepercayaan kepada mekanisme alam, yang dipertegas oleh mata dan telinga telanjang. Tentang kehatihatian memberi ruang kepada kesimpulan manusia. Puisi-puisi yang memberi kredit sepantasnya kepada lebah dan nektar: bahwa ada pasar di antara mereka.

Ternyata. Sungguh lebih dari sekedar itu.

Membaca Bung Nirwan membuat saya terhenyak lemas. Betapa lebih besar ketidaktahuan saya. Saya ingat: sempat saya pernah bersombong dan menyangka diri punya sedikit, ya sedikit saja, keunggulan komparatif dalam membaca sastra di antara murid-murid ekonomi (sekalipun mungkin hanya menang lebih duluan membaca Ahmad Tohari dan Sapardi Djoko Damono).

Saya salah, rupa-rupanya.

Dan Jantung Lebah Ratu menegaskan itu. Ini berbahaya: lebih memalukan daripada prediksi makro yang meleset.[4] Bahkan kosakata pun banyak yang tidak saya pahami -- kalau bukan cerminan dari kekurangakraban dengan kamus. Ada ara-ara, pring, balam, alah, kalis, nyiru. Lalu terwelu, bengkarung, obsidian. Beginilah kalau hidup serba kering hanya dengan inflasi, insentif, dan regresi: baca puisi mati rasa. Celakanya lagi, teori ekonomi ternyata banyak kakunya dan yang ada pun sudah tergambar jelas di luar sana.

Bahwa tidak selamanya kopi dan air atau kopi dan susu adalah komplementer, seperti kita terima saja di kelas pengantar ekonomi mikro kemarin.[5] Tunggu dulu. Menurut Bung Nirwan, ada persaingan di antara air dan kopi. Ada substitusi.[6] Atau paling tidak naluri bersaing alih-alih bersekongkol atau dibuat bersekongkol dalam fungsi produksi. Betapa lugunya penyederhanaan oleh contoh-contoh dan kisah-kisah klasik buku teks. Karena sesungguhnya puisi memungkinkan dua barang bisa sekaligus komplementer dan subsitusi. Sekaligus bertarung, bersetubuh, membubung. Untuk kemudian jatuh menghujani bentang koran pagi.

Bahwa lebah ratu pun berhitung biaya versus manfaat. Sebelum memutuskan untuk membunuh atau memuaskan lebah pejantan. Atau kombinasi keduanya. Sekalipun ternyata korbannya adalah bayang-bayangnya sendiri. Sungguh, lebah pun tidak lepas dari konsekuensi yang serba tidak diniatkan.

Bahwa jangan-jangan memang mungkin ada lembar sepuluh dollar di jalan, tergeletak tidak menarik siapa-siapa yang melintas. Ratna Manggali adalah buktinya. Tapi kemudian, siapa berani dengan Calon Arang? Maukah Anda memungut lembar sepuluh dollar di jalan jika di sebelahnya mendesis ular berbisa? Syukurlah, untuk yang satu ini diktum ekonomi masih berlaku. Ketika Empu Baradah membinasakan sang ular, lembar sepuluh dollar pun lenyap.[7]

Bahwa mengajarkan efisiensi tidak melulu harus dengan kisah pakaian dan kue, dengan si A dan si B. Karena Bulan pun melakukannya, bersama Kesedihan. Bung Nirwan berkisah, Sang Bulan meminta kenikmatan yang lebih, ketika Sang Kesedihan sudah tidak bisa memberi lagi, kecuali melukai diri sendiri. Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth menyebut ini sebagai keseimbangan efisien.[8] Namun Bulan hanya tahu meminta dan Kesedihan hanya bisa menangis. Dan akhirnya efisiensi itu pun dirusak. Oleh pengorbanan Sang Kesedihan, mengupasi dirinya sedikit demi sedikit. Yang dikuncinya hanya cinta. Efisiensi memang bisa kejam.

Bahwa di Broadway, hanya di Broadway, ada titik optimum global. Di mana merah telah jenuh, walau tak pernah sampai ke surga. Kunang-kunang Manhattan bisa bersaksi. Bahwa ketika Marno dan Jane berpisah, masing-masing mereka akan terhempas ke titik yang tanggung, optimum yang lokal.[9] Para ekonom, holy grail yang kita cari itu ada di Broadway, hanya di Broadway.[10]

Bahwa laku teori permainan ada dalam setiap gerak.[11] Ketika menghauskan diri, agar dimasuki; ketika meringankan jantung agar dilayarkan; ketika mentanahkan agar dihujani. Dan tanggapan terbaik adalah mengejar, menghempas, dan menghunus. Nash equilibrium pada akhirnya adalah cinta yang berkelindan. Betapa sederhana, bahkan matematika pun tidak perlu.

Bahwa jauh sebelum ekonomi menjadi buku, Ular sudah mafhum rahasia Adam dan Hawa: insentif. Tidak ada yang lebih rentan daripada pasangan muda-mudi mabuk kepayang. Yang salah memilih discount rate.[12] Sehingga tuli dan akhirnya terkulai di tepi sungai. Dan Ular bersabda: maaf, tapi sampai kapan pun, akan kugoda anak Adam dengan desain mekanisme.[13]

Bahwa dunia tidaklah rata, seperti nyanyian cempreng Thomas Friedman.[14] Karena ada penjinak binatang, ada peniti tali. Ada Adam ada Hawa. Dan peziarah manapun tidak kuasa memaksa mereka bersepadan di jembatan mawar. Mengapa David Ricardo begitu cepat dilupakan? Kita berdagang, karena kita berbeda. Kita hidup karena kita berdagang. Maka janganlah bumi ini menjadi rata.[15] Tidak peduli betapa kencang Marx berteriak.

Bahwa ucapan terima kasih bisa cukup untuk membela diktum "tidak ada makan siang gratis".[16] Karenanya, berterimakasihlah kepada laut, tukang jagal, asparaga, juru museum, kentang bakar, padang rumput Chien, atau peluh lautan. Seperti lebah berterima kasih kepada nektar dan apel berterima kasih kepada serbuk sari sang lebah.

Maka jika Bung Nirwan berterima kasih kepada susu masam yang mengembarkan payudaranya dengan aprikot jingga, saya berterima kasih kepada Bung Nirwan, atas terapi sengat lebahnya ini. Yang mengembarkan kosa kata saya dengan merah dan darah. Salam buat Lebah Ratu.

GoetheHaus, 17 April 2008


[1] S. N. Cheung, "The Fable of the Bees: An Economic Investigation", Journal of Law and Economics, 16(1): 11-33, 1973.

[2] J. E. Meade, "External Economies and Diseconomies in a Competitive Situation", Economic Journal, 52, 1952.

[3] A.C. Pigou, Wealth and Welfare, 1912.

[4] Maksudnya, prediksi indikator-indikator ekonomi makro, seperti tingkat pertumbuhan, inflasi, dll.

[5] Dua barang yang bersifat saling melengkapi disebut komplementer. Implikasinya, kenaikan harga barang pertama menyebabkan penurunan permintaan atas barang kedua. Atau sebaliknya.

[6] Dua barang yang bersifat saling menggantikan disebut substitusi. Implikasinya, kenaikan harga barang pertama menyebabkan kenaikan permintaan atas barang kedua. Atau sebaliknya.

[7] Berdasarkan P.A. Toer, The King, The Witch, and The Priest, Equinox 2002.

[8] Ketika interaksi dua agen ekonomi telah mencapai situasi di mana tidak satupun yang bisa menambah kepuasan kecuali dengan menurunkan kepuasan agen yang lain, situasi ini disebut Pareto-efficient (dari nama Vilfredo Pareto). Ekonom yang menggambarkan keadaan ini secara grafis dalam apa yang disebut sebagai kotak Edgeworth adalah Francis Edgeworth.

[9] Salah satu analisis penting dalam mikroekonomi adalah identifikasi titik optimum (baik minimum ataupun maksimum). Karena semesta himpunan-nya besar, seringkali ekonom harus puas dengan apa yang disebut local optimum – kondisi optimal di sekitar daerah yang membatasi pengamatan yang relatif kecil. Ada kumungkinan terdapat titik lain di luar daerah amatan. Jika tidak ada, maka titik optimal tadi disebut global optimum.

[10] Berdasarkan U. Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Grafiti 2003.

[11] Maksudnya, game theory, salah satu instrumen utama dalam menganalisis interaksi antara agen ekonomi.

[12] Discount rate atau tingkat bunga diskonto adalah besarnya tingkat kemauan seseorang mengkonsumsi sesuatu saat sekarang dibandingkan masa yang akan datang. Semakin tinggi discount rate semakin cepat agen ekonomi mengkonsumsi barang pilihannya.

[13] Maksudnya, mechanism design, sebuah pendekatan mikroekonomi untuk menciptakan sistem insentif-disinsintif guna meminimumkan kemungkinan kecurangan salah seorang peserta interaksi.

[14] T.L. Friedman, The World is Flat, Penguin 2005.

[15] David Ricardo adalah ekonom yang mempopulerkan comparative advantage. Bahwa antara dua orang pasti ada yang unggul dalam A dan yang lain dalam B, dalam hal rendahnya biaya untuk memproduksi X.

[16] "There is no such thing as a free lunch". Contoh lembaran sepuluh dollar tergeletak di jalan adalah salah satu varian dari diktum ini.

11 comments:

Anonymous said...

Wah, ternyata anda lebih hebat dari Chatib Basri

Rizal said...

Aco, two thumbs up on this superb econ-lit review. And bring the Bloomsbury Group spirit on, mate! :-)

Anonymous said...

Kudos, co'

sapesevy

Anonymous said...

Aco,
Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan kekaguman saya terhadap tulisan ini. Tulisan ini seperti merajut air dengan minyak; sesuatu yang mustahil. But, you did it!

Dio said...

Bung,
Ini tinjauan puisi yang sangat cerdas yang pernah saya baca. Tidak hanya cerdas tapi juga jujur. Nirwan tidak salah memilih orang. Ayolah, kembali bikin puisi...atau novel sejarah ekonomi? kalo jostein gaarder sukses dengan dunia sophie, Anda juga pasti mampu bahkan lebih dari dunia sophie...

Gaffari said...

Pak Aco,
Tulisan yang bagus sekali.
Perpaduan sastra dan ekonomi yang memukau....

Thohir Afandi said...

Itulah hebatnya PUISI, orang dari background ilmu apapun akan bisa menemukan "dunia"-nya dalam puisi tersebut. Tetapi yang satu ini, memang luar biasa dalam menggambarkan "dunia" yang ditemukan dalam puisi yang ditulis bang Nirwan ini. Indeed, it's awesome..!

Advanced International Economics at FEUI said...

Wah pak Aco, kemarin kagetan ngasih pengumuman di kelas.. hehe.. kalo ngga pasti banyak temen-temen di kelas yang mau ke Goethe Haus juga.. hehhe..
beautiful works Pak :)

Unknown said...

impressive. i might even get it.

Rajawali Muda said...

mas aco, bikin sering sering ginian mas,heheheeh..

Anonymous said...

Kangen, saya liat2 blognya Mas Aco. Iseng, saya baca tulisan Lebah ini. Bukan apa2, tulisan ini satu2nya yang pake bahasa Indonesia, dan gak berjudul ekonomi pulak :). Saya baru nulis dikittt banget, udah pede berniat mau nulis buku. Nah, lihat kuantitas dan kualitas isi Blog Mas Aco saya cuek, tapi tetap aja, gak bisa menekan yang namanya minder. Apa lagi baca review Lebah ini. Inspiring, dalam hal utilisasi ilmu ekonomi oleh Mas Aco dalam mereview. Saya pengen, tapi gak sanggup deh. Cukuplah saya jadi pengagum saja, dan menulis dengan genre dan kandungan yang lain.

Hope to see u again. Mungkin tidak membicarakan hal yang bukan keahlian saya, ekonomi. Hehehe.

Salam,