Wednesday, January 02, 2008

The Politics of Rice 27

Read Kompas today. The headline of business and finance section reads "Beware of 2008 Rice Production". It reports about more than 50 thousands hectares rice plantation damaged by flood during October-December 2007 alone. That is indeed worrying. Oddly enough, Kompas does not mention at all about import. Instead it cites a statement from a farmers' association head who calls for government clear take both for short- and long term policies. However, the article (and the association's statement) is all about longer term policy, i.e. increase in the level of productivity. They shy away from admitting that importing rice would be the only feasible short term solution. (Another thing is again Kompas laziness to cross check their information with facts. The reporter mixes up the potential of dry and wet periods in 2008. He then carelessly attributes dry period to La Niña, not El Niño).

2 comments:

Anonymous said...

Sukamu Kolopot berkata:

Bung Aco, memang impor bisa dijadikan solusi jangka pendek. Tetapi mungkin, maksud tulisan tersebut ingin menunjukkan bahwa bencana banjir tersebut-meskipun Anton Apriyantono mengklaim tak akan mengganggu produksi beras nasional-sedikit banyak tetap memiliki potensi berkurangnya produksi beras. Dan masalahnya, lebih dari sekedar impor, ada banyak petani/buruh tani yang mungkin sudah miskin sebelum banjir menyapu, akan lebih miskin lagi dengan hilangnya padi mereka yang sejatinya siap dipanen. Abainya pemerintah terhadap langkah-langkah antisipasi terhadap bencana dan juga minimnya pembangunan dan perbaikan infrastruktur such as dam, waduk, dan prasarana irigasi lainnya, semakin aggravate keadaan. Sebelum terlalu mengalir sampai jauh, intinya bukan cuma sekedar impor sebagai solusi even in the short term. Suppose nggak ada negara yang mau ekspor pangannya, lalu mau apa kita? Siapa yang dirugikan dengan impor? Tentu petani juga. Jadi, petuah klasik sedia payung sebelum hujan tetap masih valid hingga kini. Pesannya, pemerintah mestinya hirau dengan memperbaiki pertanian kita sekaligus berupaya mengambil tindakan agar kalau musim hujan tidak kebanjiran dan ketika kemarau tidak kekeringan. Saya yakin sebetulnya banyak orang cerdas di Indonesia yang sebetulnya bisa melakukan ini. Bukankah banjir terjadi bukan kali ini saja? Tetapi seolah sudah menjadi litani setiap musim hujan datang.
Oh ya, Sukardi Rinakit kemana ya?
Saya kira bahasan ini juga menarik jika dikaitkan dengan diskusi yang sedang menghangat di blog MCB dan anda di sebelah.

Aco said...

Bung Sukamu, justru itu poin saya, impor bisa jadi solusi jangka pendek. Reportase itu bicara tentang solusi jangka pendek dan jangka panjang, tanpa sama sekali menyebut impor sebagai opsi. Apa yang terjadi jika tidak ada negara yang mau ekspor? Pertama, saya kuatir itu tidak mungkin terjadi. Vietnam baru saja bergabung dengan WTO dan salah satu klausul mereka adalah meniadakan kontrol ekspor beras oleh negara. Dengan produksi yang melebihi permintaan di sana, tentu saja mereka akan mengekspor. Kedua, kalaupun benar tidak ada negara yang mau mengekspor (katakanlah karena bencana, dsb.) maka mau tidak mau konsumen akan melakukan adaptasi, misalnya dengan mengurangi porsi beras dalam konsumsinya, digantikan dengan bahan makanan lain. Ini bukan hal yang tidak mungkin. Data (studi Timmer dll) menunjukkan hal ini sudah berlangsung secara gradual. Saya setuju dengan Anda bahwa banyak orang cerdas di Indonesia. Termasuk para konsumen dan keluarga miskin. Mereka tidak akan menyerah begitu saja pada kondisi ketersediaan beras menipis. Terakhir, tentang banjir. Saya setuju dengan Anda bahwa ini masalah kronis yang sayangnya belum bisa ditangani dengan baik oleh yang berwenang.