Saturday, January 26, 2008

Argumentum ad misericordiam

Have you noticed the media's fad lately? In the wake of increasing commodity prices they have been running anecdotal stories about individuals or households who, according to them, have been made miserable by the surging prices of commodities. Professional writers, commentators, and even academics follow suit. They don't even bother to check if the causality they like to believe holds true. Particular story like someone who committed suicide brings a lot of attention and sympathy. No less than a prolific writer paints the story on a canvass of misery. And people are touched. Then easily blame it on inflation.

So much for logic: this is what we call argumentum ad misericordiam.

As for me, I try not to be trapped in this kind of fallacy. As much as I sympathize with those who suffer from price dynamics, I keep asking myself: Was it really the price increase that caused the death? Was it not some other things, say, irrational spending behavior? How did we conclude that he killed himself because he could not afford some prices, a story we believed in? Can we trust those who claimed to be told firsthand by the victim before the suicide? If, all this were true, then why do some still survive? Why not many suicide cases? There were times when inflation was far more hurting, here and elsewhere in the world. Were they followed by higher number of suicide cases? If so, were they causally related? If poverty was the cause of suicides, why then richer Japanese kill themselves?

Oftentimes, people buy what they hear just because the story is about misery. And some other people really use it to get the others. To get them agree with what they are going to say next.

4 comments:

Anonymous said...

Sukardo Ronaldo berkata:

Makanya Bung Aco sempatkan waktulah main ke pemukiman kumuh, nggak usah jauh-jauh, cukup di seputaran Jakarta. Nah, dari situ barulah Bung Aco lihat dan rasakan sendiri bagaimana susahnya jadi orang miskin di Republik ini. Atau kalau perlu, cobalah hidup sehari dengan mereka yang untuk mendapatkan seperak dua perak yang mungkin nggak lebih dari ongkos parkir anda, susahnya minta ampun. Nggak kebayang bagi mereka mendapatkan uang sebagaimana yang anda peroleh. Dengan demikian, pergulatan anda denga berbagai quantitative reasoning, neo-classic, teori-teori ekonomi yang dengan konsisten anda ajarkan, ya Mbok yao memberikan manfaat gitu lhoh...dan diskusi anda dengan Mumbunan kawan-kawan nggak berhenti di dunia maya saja seperti sebuah iklan sampo dulu di televisi yang mengatakan: Akh...Teori. Cobalah anda renungkan apa yang anda telah perbuat dengan teoti-teori yang anda kuasai tersebut bagi mereka penjual gorengan, joki 3 in 1, busker (kata anda), anak-anak balita yang blatakan di jalanan. Moga-moga diskusi anda dan Mumbunan dkk bisa mengenyangkan mereka. Btw, anda senang pakai idiom latin mirip-mirip si Harry Potter.

Aco said...

Sukardo, saya tidak tahu apakah Anda benar-benar dekat dengan orang-orang miskin seperti yang Anda klaim, dan saya tidak peduli. Saya juga tidak perlu meyakinkan Anda bahwa saya biasa bergaul dekat dengan orang-orang yang Anda deskripsikan.

Oh ya, feel free to dismiss this blog if you think it's useless or "akh ... teori".

Anonymous said...

Sukardo Ronaldo berkata:

Aga Kareba, Daeng Aco...
Jangan emosi dulu donk...
Saya yakin blog ini jauh lebih bermanfaat daripada celotehan para pundit di media sana.
Kemiskinan itu nyata di depan mata kita tanpa perlu jauh-jauh mengamati. Tentunya saya yakin Daeng Aco sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor sedikit banyak melihat bahwa kemiskinan itu nyata. Memang, masalah kaya miskin dalam hal bunuh diri bisa diperdebatkan. Tapi, yang saya inginkan adalah bahwa kita tak cukup hanya mempertanyakan keabsahan dari suatu realitas. Dalam konsidi yang sedemikian government less di Republik kita ini, adalah perlu untuk suatu langkah nyata sekecil apapun. Menunggu peran pemerintah sama saja denga menunggu godot, Menkeu saja menyatakan tak bisa berbuat banyak selain menurunkan tarif dalam hal krisis kedelai. Saya yakin 1000% akan empati DAeng Aco terhadap di miskin. Jadi, lebih baik tuliskan saja atau berbuatlah yang nyata bagi mereka yang termiskinkan.

Anonymous said...

Bung Sukardo Ronaldo, terima kasih untuk kritiknya. Komentar ini sebaiknya dianggap sebagai tanggapan untuk kritik Bung atas saya.

Diskusi di blog Diskusi Ekonomi, yang sempat saya ikuti, terkait dengan perdebatan asumsi-asumsi ekonomi neoklasik. Terutama tentang pilihan (preferensi), asumsi-asumsi tersebut di mata sebagian orang yang nimbrung - termasuk saya - tidak atau kurang mencerminkan perilaku manusia secara umum.

Memang, seringkali diskusi tersebut menjadi agak teknis, dan pembaca seperti Bung Sukardo akhirnya sampai pada "Akh,.. Teori". Sepertinya, diskusi semacam itu tidak punya relevansi dengan persoalan yang jelas-jelas di depan mata.

Sebetulnya, sebagian rujukan (literatur) yang muncul di diskusi tersebut di atas telah digunakan dalam kajian/penelitian tentang kebijakan yang terkait ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.

Kritik yang dilakukan kajian-kajian itu, semangatnya antara lain adalah untuk mengenyangkan kaum miskin yang "dibela" Bung Sukardo, saya, atau siapa saja. Terutama untuk usulan kebijakan.

Setiap orang punya cerita persinggungan dan pemahamannya sendiri dengan dan tentang kemiskinan. Saya pasti bisa juga belajar dari Bung Sukardo, bila Bung memberi contoh atau usul terkait - mengutip posting Bung, bahwa "...kita tak cukup hanya mempertanyakan keabsahan dari suatu realitas. ... adalah perlu untuk suatu langkah nyata sekecil apapun."

Salam.