Monday, December 03, 2007

A great thing is happening in Bali. And so are funny things...

Oh no, Malthusians are everywhere in Bali. They say, high production and consumption are to be blamed for the climate change. (It's not clear from the news whether they're wearing some clothes or not while saying that). That's in Kompas.

Another one came out as an opinion piece in The Jakarta Post (can't find the link to the article, but it's titled "Be casual as world fashion is going green" by Rita Widiadana). Let me quote some for you:
Every body, please dress casually! ... Imagine all delegates clad in formal business suits during the two-week long meeting. How much energy would we need to air-condition all conference venues?
(Um, is she sure the hotels would turn off the AC when most of them conference people wear casual?)

Then she advertised batik:
Indonesia has a lot of eco-friendly clothes like batik made of cotton and natural-based materials...
and introduced Obin who said:
[B]atik is energy-saving...
And then she condemned cotton plantation (she forgot that she just promoted cotton batik) for T-shirt production. Then she implied that blue jeans are bad for workers producing them ... (maybe I'm wrong but most batik is dyed, no?)

p/s Anybody seen that Greenpeace thing where people color their palms and print them on a white cloth? Please don't tell me that's chemical.

4 comments:

Rizal said...

Cafe Hayek today, borrowing from other blog, is serving a long list of everything-is-caused-by-global-warming (600 items and counting). I can't help but grin :-)

Anonymous said...

oh, don't forget carbon residual caused by airplanes that used to fly them all out to bali...
and how the (indonesia) government is practically in pause just because the entire office go there.

enjoy tokyo...

Anonymous said...

Please read my Kompas rejected article,
from your former student....

Harga Minyak Dunia, Teruslah Melonjak!

Melonjaknya harga minyak dunia hingga mendekati batas psikologisnya tak pelak telah menumbuh kembangkan kegelisahan ditengah khalayak. Beragam solusi pun ditawarkan, dari yang paling rasional hingga irasional. Kekhawatiran semakin menjadi tatkala Hugo Chavez, Presiden Venezuela hendak menyetir OPEC sebagai landasan perlawanan ideologinya terhadap kerakusan Amerika Serikat. Saking paniknya, bermacam ungkapan kekesalan diungkapkan oleh para pengamat hingga akhirnya mendapatkan kambing hitam berupa tingginya laju konsumsi minyak (baca:aktivitas ekonomi). Restriksi konsumsi dipandang perlu, karena hal ini diyakini dapat mengerem laju harga yang sudah diluar kontrol. Pengetatan permintaan pada gilirannya juga dipercaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai akibat pembakaran bahan bakar fosil yang sudah diluar batas. Akan tetapi, bukankah pengetatan ini hanya berujung pada terkendalanya pertumbuhan ekonomi? Tepatkah kita mengorbankan pencapaian jangka panjang demi sebuah krisis sesaat?

Restriksi Konsumsi = Impotensi
Dari data yang terpapar selama ini, tren kenaikan harga minyak dunia sepertinya akan terus berlangsung. Sebuah proyeksi harga minyak dunia yang penulis lakukan dalam forum Asia Pacific Initiatives di Keio University Jepang, mendukung adanya dugaan tersebut. Harga minyak dunia diyakini akan segera melewati batas psikologisnya di level US$100/barrel dan akan terus mengangkasa hingga batas-batas yang tentunya membuat jantung berdegup lebih kencang. Lebih lanjut, pertumbuhan konsumsi minyak dunia dianggap memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pembentukan harga. Dengan struktur permintaan minyak dunia yang bersifat inelastis (kaku) terhadap kenaikan harga, proyeksi tersebut sangat mungkin untuk terjadi karena struktur permintaan inelastis tersebut menciptakan sebuah momen inersia yang cukup besar hingga laju kenaikan harga minyak dunia yang terjadi saat ini belum mampu untuk menahan laju kenaikan permintaan. Atau dengan kata lain, sebelum adanya energi alternatif yang dapat digunakan secara massif untuk menggantikan bahan bakar fosil, harga minyak dunia dipastikan akan terus membumbung tinggi..
Restriksi konsumsi sangat mungkin untuk bisa berkorelasi dengan melambatnya laju kenaikan harga tetapi hal ini tidak lantas menciptakan kegembiraan yang menjadi-jadi. Dengan adanya restriksi, pelaku ekonomi baik individu maupun industri dipaksa untuk mengurangi aktivitas ekonominya terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar minyak. Restriksi ini, alih-alih menjadi solusi justru menciptakan sebuah permasalahan baru yang mempunyai dampak pada jangka panjang. Dampak yang paling kentara adalah terkendalanya pertumbuhan ekonomi. Meskipun bukan merupakan satu-satunya pembangkit, pertumbuhan ekonomi masih dipandang sebagai syarat perlu dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Terbatasnya pertumbuhan ekonomi membatasi terciptanya lapangan kerja baru, terbatasnya lapangan kerja mengakibatkan para pencari kerja kehilangan asa hingga akhirnya berkontribusi terhadap peningkatan angka pengangguran. Para penganggur kemudian menjadi miskin karena tidak adanya sumber pemasukan yang berkesinambungan. Secara agregat hal ini berujung pada hilangnya kesejahteraan. Restriksi konsumsi merupakan impotensi karena hal ini merupakan ganjalan bagi pemberdayaan potensi.
Sebagai tambahan, penundaan konsumsi minyak pada masa sekarang sepertinya tidak akan banyak merubah struktur harga minyak dalam jangka panjang. Dugaan ini merupakan hal yang realistis mengingat bahan bakar fosil merupakan jenis bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui. Sehingga pada masa mendatang, dengan asumsi belum adanya pengembangan energi alternatif, konsumsi minyak akan kembali pada level yang tinggi dan menggiring harga pada level yang terus meningkat.

Sudahi Intervensi
Pertanyaan kini menyeruak, apa yang harus dilakukan untuk menghentikan laju kenaikan harga minyak? jawabannya ternyata tidaklah sulit: diam dan biarkan saja! Jawaban ini sekilas tentunya membuat dahi berkernyit akan tetapi ternyata ini adalah solusi yang paling realistis. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, segala usaha untuk mengintervensi harga melalui pembatasan konsumsi mungkin efektif untuk menahan laju kenaikan harga pada jangka pendek, akan tetapi pada jangka panjang, usaha ini merupakan kesia-sian belaka karena harga akan kembali pada level alaminya.
Dengan membiarkan harga terus naik, memang ada beberapa pengorbanan yang harus dialami. Salah satu bentuk pengorbanan yang tampak jelas adalah terkendalanya ekspansi industri. Patut dicatat, kendala ini hanya akan terjadi dalam jangka pendek karena dengan meningkatnya harga, industri akan dipaksa secara alami untuk mencari bentuk energi alternatif. Dimana dalam jangka panjang, dengan skala ekonomi dari industri yang terus meningkat yang ditandai dengan semakin majunya skala penelitian dan pengembangan, industri akan mampu menggantikan sumber bahan bakar fosil dengan bahan bakar lain yang lebih murah dan bersahabat dengan lingkungan. Proses ini dapat berlangsung meskipun tanpa campur tangan dari pemerintah, karena alat pemaksanya diperoleh secara alami dari harga yang terus meningkat. Tentu ini merupakan kabar baik, tidak hanya bagi proses pertumbuhan ekonomi jangka panjang tetapi juga untuk kesinambungan alam bumi.

Kurva Kuznet
Nicholas Stern, seorang ekonom berkebangsaan Inggris dan mantan pejabat Bank Dunia, pada akhir tahun 2006 menerbitkan sebuah review mengenai perubahan iklim global serta dampak ekonominya. Dalam laporan tersebut, Stern sempat menyinggung tentang kurva kuznet dimana kurva tersebut berbentuk U terbalik (Inverted U Curve). Kurva tersebut secara gamblang mendeskripsikan mengenai hubungan antara tingkat pendapatan perkapita dengan tingkat emisi perkapita. Pada level pendapatan tertentu, semakin besar pendapatan, semakin besar pula konsumsi bahan bakar minyak yang artinya semakin besar kadar emisi yang ditimbulkan. Akan tetapi, kurva tersebut menggambarkan sebuah titik balik, dimana pada level pendapatan yang tinggi, semakin besar tingkat pendapatan, semakin rendah konsumsi bahan bakar fosil yang berujung pada semakin rendahnya kadar emisi yang ditimbulkan.
Dengan landasan teori tersebut, penulis kemudian melakukan sebuah analisa melalui sistem regresi simultan, dimana regresi ini mencoba untuk mengetahui hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dunia dengan tingkat konsumsi minyak dan tingkat emisi yang ditimbulkan. Hasilnya ternyata berkesesuaian dengan deskripsi kurva tersebut. Dimana pada jangka panjang, dengan ekonomi dunia yang semakin bertumbuh, tingkat konsumsi minyak dunia dan kadar emisi dunia menjadi semakin rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi justru menjadi juru selamat.
Sejalan dengan logika yang coba dibangun sedari awal, adalah salah untuk melakukan intervensi terhadap konsumsi, karena hal ini akan berlangsung secara alami, seiring dengan kenaikan harga. Kemampuan untuk mengembangkan energi alternatif pada gilirannya meningkat sesuai dengan berkembangnya kemampuan ekonomi dunia. Kesimpulannya, struktur harga minyak dunia yang terus meningkat memiliki efek jangka panjang berupa stabilnya pertumbuhan ekonomi dunia serta berkurangnya kadar emisi gas rumah kaca sebagai konsekuensi dari digunakannya energi alternatif secara masif. Hingga akhirnya, pantaslah kita berharap: Harga minyak teruslah melonjak, demi bumi yang lebih bersih.

Aco said...

Wah, Ical, ini tulisan bagus! Ya udah, kamu buat blog aja. Koran memang lebih suka yang populis biasanya.