Saturday, August 04, 2007

CSR (2)

The populist bastion from Kompas is on fire again. Now on CSR. Its today’s Fokus focuses on the all-good-thing about CSR. They invited businessmen from corporations that had successfully implemented CSR. They did not even bother to ask those who had not. Of course they got positive responses only. This is what we call selectivity bias.

They run five or six articles praising CSR. And they all miss the point. What is being objected by business majority is the coercion, not the merit of CSR. Yes, CSR is good. Yes, it has positive correlation with profit – you don’t need a Porter to tell you this. You don’t even need Perkins gossip book to make your case. Every company who runs CSR -- in the absence of coercion from government ran it for profit consideration. So it should have positive correlation with profit. Otherwise, it would not have been done in the first place. Of course those companies will tell you they are doing it purely out of social motive. That is a lie. They are doing it to attract more customers or to avoid being attacked by community members or to hide something bad they have done, e.g. tax evasion.

Imagine you just invested big chunk of your money in some stocks. Then you read in the newspaper that the company will give out a large amount of money for CSR. If you really love CSR, you should be glad and even encourage that company to use all the dividends for that, should you not? You will praise the CEO, will you not? I guess, if you are just honest, the answer would be no and no. If you are both honest and smart, you will agree to allocate a little amount of profit for CSR – only to the level where it is sufficient to impress the public so as to turn them into your loyal customers. You don’t want a CEO who spends all your money just to build little bridges out there.

Again, CSR is good. So is drinking more water and less coffee. But as you do not want the government to put you in jail if you do not drink more water, you do not want the government to put you in jail if you do not do a CSR. After all, drinking too much water makes you puke.

8 comments:

Anonymous said...

So, sebenarnya dimana sih posisi anda. Dibilang Friedman anda masih jauh, tapi menyebut para anti corporatist sebagai aktivis jalanan yang bingung. Atau jangan-jangan anda sendiri yang bingung. Lebih baik tawarkan solusi yang tepat sesuai dengan realitas yang anda hadapi dan rasakan sendiri secara langsung.

Aco said...

Baca baik-baik. Saya tidak pernah bilang CSR jelek (bahkan saya bilang CSR bagus). Yang saya tentang adalah jika pemerintah memaksakan perusahaan melakukan itu.

Masih bingung?

Anonymous said...

Okay, di situsnya APE and mengatakan bahwa mereka still don't get it. So, menurut anda bagaimana seharusnya CSR diperlakukan, say secara pareto optimal. Mengingat TNCs or MNCs bergerak bukan di ruang yang vakuum. Apalagi di negeri anda yang dikenal dengan seribu paradoks ini dimana aturan yang dibuat belum tentu dilaksanakan, apalagi yang tidak diatur. Bagaimana kira-kira konsep dan seharusnya menurut anda CSR diperlakukan with special reference negara ini khususnya company yang bergerak dan berusaha disini. Saya belum lihat konsep anda yang jelas dan solutif.

a.p. said...

"Apalagi di negeri anda yang dikenal dengan seribu paradoks ini dimana aturan yang dibuat belum tentu dilaksanakan, apalagi yang tidak diatur."

Sisi lain dari statement yang paradoxical ini adalah: CSR sebenarnya tengah tumbuh, termasuk di Indonesia, tanpa adanya peraturan (pemaksaan) yg spesifik. Paradoksnya lagi, trend-nya harus diakui didorong oleh MNCs (Body Shop, misalnya), meski banyak perusahan lokal yang juga sudah lama bergerak (Sampoerna, Astra).

So, bagian pertama dari kesimpulan saya adalah 'CSR tidak memerlukan peraturan/pemaksaan' untuk tumbuh. Pemerintah bisa saja mendorong CSR melalui bbrp insentif.

Atau, spt di banyak negara, CSR tumbuh karena market-based incentives. Tidak selalu dari pemerintah. Tapi dari konsumen dan masyarakat scr umum.

Kedua, apakah adanya regulasi/pemaksaan akan positif bagi CSR? Atau negatif? Atau tidak ada efeknya?

Balik ke proposisi "negeri yang penuh paradox." Apa yang bisa membuat kita percaya bahwa CSR akan langsung marak setelah adanya peraturan/pemaksaan?

Jika ada peraturan, bayangan saya adalah perusahaan akan 'memaksakan' diri untuk punya kegiatan CSR. Atau setidaknya pura2 punya CSR. Artinya, seolah2 ada CSR, tapi ternyata tidak.

Efek negatifnya:
- Kepercayaan pada perusahaan yg benar2 melakukan CSR menjadi hilang.
- Men-deter inisiatif dari perusahaan lain/NGO/pemerintah untuk melakukan CSR/social program lainnya di suatu daerah karena dikira "ah, sudah ada CSR di sana.." which is in practice, not.

Kesimpulannya: peraturan/pemaksaan CSR malah bisa memiliki adverse impact.

Anonymous said...

Okay, lalu bagaimana halnya dengan market-based incentives di negeri ini? Apakah konsumen kita sudah rasional berpikir hingga ke situ? Saya sepakat jika pemerintah juga memberikan insentif tak cuma memaksa.

a.p. said...

Dari sisi konsumen:
1. kalau ternyata konsumen memang masih nggak peduli pada tanggung jawab sosial perusahaan, apapun regulasi yang ada, tidak akan efektif. CSR yang dipaksakan akhirnya akan jadi lip service dan seremonial.
2. given (1), maka lebih efektif kalau fokusnya adalah mengubah perilaku/awareness/demand dari konsumen (whatever that means).
3. meski saya rasa, segmen tertentu dari konsumen sudah punya awareness dan melihat produsen/perusahaan bukan hanya dari kualitas produk dan harga, tapi image keseluruhan dari produsen. (Kalau tidak percaya, tanya Aa Gym).

Dari sisi produsen:
1. Sekali lagi, dari cerita perusahaan2 yang menjalankan CSR, motivasi awal dan utama mereka adalah 'positioning' bisnis. Bukan karena terpaksa.
2. Proses (1) bisa dipercepat dan di-scale up melalui efforts untuk mengubah paradigma perusahaan dari dalam, bukan melalui peraturan. Sudah mulai banyak konsultan bisnis yang fokus pada bagaimana perusahaan melakukan CSR.

Dari sisi pemerintah:
1. Ya -- alternatifnya memang pemerintah bisa memberikan insentif untuk melakukan CSR (ketimbang paksaan dan sanksi). Misalnya lewat tax break, matching fund, subsidi dsb.
2. Tapi ingat, setiap intervensi pemerintah punya opp. cost dan trade-off. dengan berbagai prioritas yang ada saat ini, perlu nggak sih pemerintah mengeluarkan effort untuk membuat perusahaan melakukan CSR?
3. karena kalau ekonomi makin baik dan perusahaan merasa perlu melakukan CSR, itu akan terjadi dengan sendirinya.
4. Jadi, back to square one. Mungkin sekarang yg diperlukan adalah pemerintah menjalankan fungsi regulasinya secara benar2. Baca tulisan Meuthia Ganie-Rochman di Kompas Jumat (10/8) ini. Dan dia bukan ekonom, apalagi Friedmanian.

Anonymous said...

O.K. Btw, yang punya blog mana neh suaranya? Apa memang mewakilkan kepada APE atau memang beliaunnya ini berperan sebagai regular complainer saja :P

Aco said...

"So, menurut anda bagaimana seharusnya CSR diperlakukan..."

Itu terserah perusahaan. Bukan urusan saya, bagaimana mereka mau melakukannya.

"O.K. Btw, yang punya blog mana neh suaranya?"

Saya malas melayani Anda kalau Anda tetap anonim. Kalau Anda bertanggung jawab, silakan sebut identitas Anda, biar pembaca juga bisa menilai, dan Anda tidak asal bunyi saja. Bagaimana?