Wednesday, May 13, 2009

Demokrasi Niscaya Mengecewakan, Tapi...

Demokrasi Niscaya Mengecewakan, Tapi...

Posted at Facebook by Arianto A. Patunru on Thursday, May 14, 2009 at 6:17pm

(Catatan untuk diskusi dan peluncuran buku Demokrasi dan Kekecewaan, Salihara, 13 Mei 2009 -- dengan sedikit revisi pada typos -- AAP)

Demokrasi Niscaya Mengecewakan, Tapi...

Arianto A. Patunru

Saya awam sungguh akan Rancière atau Badiou. Akan le politique atau la politique. Tapi kegusaran Goenawan Mohamad (GM) akan wujud laku demokrasi di Indonesia menarik untuk direnungi. Tentu saja para penanggap terbaik telah tersedia manis di buku baru ini, Demokrasi dan Kekecewaan. Mengulang mereka bukanlah efisien. Saya ingin mengganggu saja. Bahwa memang demokrasi bisa mengecewakan.


Tahun 1785. Ahli matematika Marquis de Condorcet menunjukkan sebuah cacat demokrasi pada sahabatnya, ekonom Jacques Turgot. Ada 300 rakyat yang akan memilih presiden: SBY, JK, atau Mega. Para pemilih itu berkerucut menjadi 3 kelompok, masing-masing 100 orang. Kelompok 1 lebih menyukai SBY ketimbang JK dan JK ketimbang Mega. Kelompok 2 paling suka JK disusul Mega lalu SBY. Kelompok 3 lain lagi; urutan preferensi mereka adalah Mega, SBY, lalu JK. Masuklah demokrasi: Siapa yang bakal menjadi presiden terpilih? Antara SBY dan JK, SBY lebih populer: di Kelompok 1 dan Kelompok 3, ia lebih disukai ketimbang JK. JK hanya unggul di Kelompok 2. Berarti dua pertiga rakyat, atau 200 orang akan memilih SBY, dan hanya 100 untuk JK. Kesimpulannya, antara SBY dan JK, SBY-lah yang akan menang. Bagaimana dengan JK versus Mega? Tampak bahwa mayoritas lebih suka JK ketimbang Mega: antara JK dan Mega, pemenangnya adalah JK. Terakhir, SBY versus Mega. Prinsip transititivitas dalam ilmu ekonomi berkata: Jika SBY lebih disukai ketimbang JK dan JK lebih disukai ketimbang Mega, maka tentulah SBY lebih disukai ketimbang Mega. Ternyata tidak: demokrasi lewat voting mayoritas dan satu-orang-satu-suara itu melanggar prinsip transitivitas. Relatif terhadap Mega, SBY hanya disukai di Kelompok 1; sementara Kelompok 2 dan Kelompok 3 lebih memilih Mega. Suara mayoritas demokratik mengunggulkan SBY ketimbang JK, JK ketimbang Mega,namun: Mega ketimbang SBY. Selamat datang di Paradoks Condorcet.

Apakah demokrasi memang sedemikian murungnya? Sebagian kita berkata, dunia Condorcet tadi terlalu naif dan menggampangkan. Dalam dunia nyata para pemilih punya otak. Dan mungkin ideologi. Kata pembela demokrasi, coba masukkan ideologi ke dalam cerita Condorcet, maka analisis rasional anda akanmusti membuang skenario yang tidak logis. Mari kita coba. Untuk berbicara ideologi, baik mungkin kita contohkan partai ketimbang individu. Bayangkan opsi PDIP, PD, atau PKS. Kelompok 1 yang sangat nasionalis lebih suka PDIP ketimbang PD, apalagi PKS. Kelompok 2 yang tidak suka ultra-nasionalisme lebih senang PD ketimbang PKS, dan masih lebih bisa menerima PKS ketimbang PDIP. Kelompok 3 cenderung alim dan islami. Mereka lebih suka PKS ketimbang PDIP, tapi lebih suka PDIP ketimbang ... PD. Sebentar, kata anda. Bagaimana mungkin pendukung PKS secara ikhlas memilih PDIP yang ”sungguh abangan” ketimbang PD yang lebih moderat, masih puasa dan jumatan? Di sini, informasi tentang demografi ideologi yang linier (maksudnya, ketiga partai seolah bisa dijejer di spektrum mistar garis lurus) membantu anda (dan mungkin, pemilih sendiri) untuk memprediksi keluaran pemilu. Logika itu berkata, Kelompok 3 sesungguhnya tidak eksis. Maka dengan hanya dua kelompok tersisa, anda tahu bahwa persaingan PDIP versus PD akan berakhir seri, PDIP versus PKS seri, dan PD versus PKS dimenangkan PD. Kesimpulannya: PD menjadi pemenang pemilu, sekalipun transitivitas sedikit dilukai. Ideologi linier menyelamatkan demokrasi dari Paradoks Condorcet. Atau tidak?

Betulkah ideologi terdistribusi linier macam itu? Jalin-kelindan partai-partai papan atas belakangan ini memberi jawab negatif: ideologi tidaklah linier. Bahkan mungkin sekali ideologi sesungguhnya tak pernah ada. Ada pemilih PDIP yang kecewa melihat partainya mesra-mesraan dengan Prabowo, ada simpatisan PKS yang kaget melihat panutannya mengusung Soeharto serta bertandang ke SBY. Dan besoknya kecewa. Lalu gonta-ganti pasangan lagi. Lusanya berubah lagi. Jika ideologi (atau ketiadaan ideologi) gagal membendung Paradoks Condorcet, demokrasi bakal macet. Siap-siaplah kecewa.

Sengkarut demokrasi itu bahkan kian gelap di tangan ekonom Kenneth Arrow. Berhujjah Arrow: Jika sebuah tata sosial voting bersifat transitif, ”konsisten pada kebulatan suara”, dan”bebas tetek bengek”, maka pasti ia adalah: kediktatoran. Jika anda lebih suka SBY daripada JK dan JK daripada Mega, maka anda haruslebih suka SBY ketimbang Mega; ini adalah transitivitas kita tadi. Jika semua orang di negara ini suka dengan Mega, maka apa pun mekanismenya, Mega pasti jadi presiden; itu adalah konsistensi kebulatan suara, unanimity. Jika anda lebih suka SBY ketimbang Mega, maka kehadiran Prabowo atau Wiranto sebagai alternatif tidak boleh menjadikan anda tiba-tiba berbalik memilih Mega ketimbang SBY – struktur preferensi anda mesti bebas dari alternatif yang tidak relevan terhadap pilihan awal; ini yang saya sebut serampangan sebagai ”bebas tetek bengek”. Dan lembar-lembar matematis Arrow membuat dunia semakin dismal: tidak mungkin sebuah tata sosial dengan sistem voting bisa sekaligus transitif, unanimous, bebas tetek bengek, dan non-diktator pada saat bersamaan. Inilah Teorema Ketakmungkinan Arrow. Ia membuat demokrasi sedih sungguh. Ketakmampuan sistem voting menghindari perangkap Condorcet dan Arrow menjadi sistem demokrasi plural-penuh rentan akan pilah suara, vote splitting. Anda dan kawan-kawan anda mendukung Golkar, karena tahu bahwa JK akan maju jadi presiden. Tiba-tiba Ical Bakri atau Akbar Tanjung juga mencalonkan diri. Suara Golkar terpecah. Akibatnya Golkar kalah, tak satupun dari mereka jadi presiden. Alhasil, demokrasi internal di Golkar mandeg.

Cara demokrasi macam itu – voting mayoritas – juga tumpul belaka dalam penyediaan barang publik. Tiga puluh keluarga di Kampung Salihara memerlukan lampu di jalan-jalan mereka Biaya menerangi jalan sekampung adalah 99 juta. Jika rakyat Salihara memutuskan untuk ”melampui” jalan, semua keluarga harus sawer sama rata. Ada 3 kelompok keluarga di sana (maka biaya per kelompok adalah 33 juta). Kelompok A adalah mereka yang melihat lampu jalan wajib hukumnya. Mereka sesungguhnya rela mengeluarkan uang sejumlah total 90 juta untuk keperluan tersebut (ekonom menyebut ini ”harga reservasi”, harga tertinggi yang tak anda ucapkan sebelum transaksi, namun rela terima jika terjadi). Kedua kelompok sisanya, B dan C, ternyata punya prioritas lain di atas lampu jalan. Harga reservasi mereka masing-masing 30 juta. Di sini voting kembali akan berakhir gelap: Kelompok A tentu setuju pelampuan jalan, mengingat biaya yang harus mereka tanggung (33) jauh di bawah “harga reservasi” mereka (90). Namun Kelompok B dan C akan menolak, karena biaya bagi mereka 3 juta lebih tinggi daripada jumlah yang mereka rela bayarkan (30). Mayoritas, 2/3 dari rakyat Salihara, dengan begitu akan menolak rencana pemasangan lampu jalan. Desa Salihara akan tetap gelap, ekonomi tetap sembab. Dan itu karena demokrasi.

Kita hampir putus asa. Dengan segala buram demokrasi di atas, akankah ia bisa terselamatkan? Syukurlah jawabnya: mungkin bisa. Di sebuah kampung lain bernama Internet, ternyata Paradoks Condorcet serta Kemuraman Arrow bisa diatasi. Sistem itu bernama voting berentang, range voting. Alih-alih mencontreng SBY, JK, atau Mega, berilah mereka skor dari 1 sampai 10. Seperti ketika Anda menilai buku di Amazon.com atau filem indie di YouTube. Tidak nyaman mungkin untuk mempanjangbeberkan bukti matematisnya di sini, namun beberapa ilmuwan ekonomi politik serius telah setuju bahwa ada solusi atas kedua masalah demokrasi di atas. Kuncinya adalah, anda bisa memberi angka yang sama kepada SBY dan JK – atau kombinasi apapun; sesuatu yang tidak boleh dalam sistem Condorcet dan Arrow. Transitivitas dan unanimitas menjadi lebih lunak, alternatif baru tidak akan mengganggu urutan preferensi, dan semua ini mungkin terjadi tanpa kediktatoran. Alhasil, pilah suara nan kacau itu takkan terjadi.

Atau biarkan pasar yang ambil alih. Tengok kembali Kampung Salihara yang masih gulita saban malam. Jika saja kelompok-kelompok keluarga di sana boleh bertransaksi bebas, maka niscaya akan ada tangan gaib yang merelokasi iuran. Kelompok A yang ngebet lampu bisa memberikan sebagian uang mereka kepada Kelompok B dan C sedemikian rupa sehingga kedua yang terakhir ini bersedia mendukung proyek pelampuan. Misalkan Kelompok A memberi 4 juta kepada masing-masing mereka. Maka, Kelompok A praktis mengeluarkan uang sejumlah 33 + 4 + 4 juta, alias 41 juta – masih jauh di bawah reservasi mereka. Akan halnya Kelompok B dan C, kini defisit 3 juta di masing-masing mereka dapat tertutupi oleh sumbangan 4 juta dari Kelompok A. Reservasi mereka seolah disubsidi, naik dari 30 juta menjadi 34 juta, dan karenanya mampu membayar iuran 33 juta. Alhasil, benderanglah Kampung Salihara. Gerobak ekonomi berdecit lagi bahkan ketika malam. Satu kosong untuk pasar. Benarkah?

Namun, sebelum kita tersenyum terlalu lebar membeli kedua kabar baik di atas – voting berentang dan pasar – saatnya kini untuk melihat caveat emptor. Yang lebih mudah adalah untuk voting berentang. Dengan empirik di jurnal ilmiah dan internet kita bisa percaya bahwa demokrasi masih bisa diandalkan. Namun sebagian kita tetap kecut kuatir. Jika memang voting berentang dapat mengenyahkan Condorcet maupun Arrow, apakah ia steril terhadap, lagi-lagi, main mata para pimpinan parpol? Mungkin tidak, tapi mungkin ini sudah bukan tanggung jawab demokrasi lagi. Atau bolehkah ini termasuk ke dalam apa yang disebut Herbert Kitschelt dan Ihsan Ali-Fauzi sebagai ”partai non-partai”?

Kedua, tentang pasar. Ada gundah dalam GM dan beberapa penanggap akan ekonomi pasar bebas. Bahwa laissez faire telah mati dan saatnya kini bagi ”kompromi Keynesian”. Keynes memang menulis obituari untuk laissez faire, namun obit itu cenderung hiperbolik; dan hiperbola tentu saja adalah gaya Keynes (sebagaimana Chairil Anwar berhak untuk marah pada masa, gaya, dan tempatnya sendiri). Namun Keynes tidak pernah menafikan pasar dan kerja pasar ke titik nol. Ia berusaha menyelamatkan kapitalisme. Dalam itu ia benar; dan juga salah. Salah, bahwa perangkap likuiditas abadi adanya. Benar bahwa ketika itu, seperti hari ini, dunia kekurangan permintaan agregat. Mengharapkan pasar sendirian menutup senjang permintaan-penawaran dalam jangka pendek mungkin musykil. Pasar memang bisa melakukannya, tapi lambat dan menyakitkan. Atau paling tidak, mencurigakan.

Jika Kelompok B dan C di Kampung Salihara tadi mafhum bahwa Kelompok A bersedia mensubsidi mereka, timbullah risiko moral. Mereka akan berlaku seolah harga reservasi mereka adalah ... nol, sembari mengharap semua biaya ditanggung Kelompok A dan mereka tinggal menunggang gratis. Tapi kita tahu, takkan ada lampu, karena total dana 90 juta tidak mencapai total biaya 99 juta. Lampu hanya bisa ada ketika kedua kelompok penunggang gratis ini juga merogoh kocek mereka sendiri masing-masing 4,5 juta, demi menutup senjang 9 juta. Berapa lama proses ini berlangsung? Bisa lama. Kalau ia tentang lampu, kita bisa sabar. Negosiasi di Kampung Salihara biarlah berjalan pelan tapi pasti, menuju keseimbangannya yang damai: 90-4,5-4,5-Benderang. Atau keseimbangan ceria yang lain di antara itu dan 39-30-30-Benderang, tergantung kuat-kuatan tawar. Ada banyak sekali kemungkinan di spektrum ini. Namun butuh waktu untuk mencapai salah satu saja. Waktu yang mungkin lama. Lagi, jika itu lampu, kita tunggu. Tapi jika ia obat penangkal flu ganas, stimulus fiskal peredam krisis ekonomi, berapa lama kita menunggu? Tentu jangan lama betul, kalau kita tidak rela melihat flu ganas itu merayap, krisis ekonomi itu menyayat. Di sini kemudian kita buka sedikit ruang bagi pemerintah. Jika negosiasi antar pelaku ekonomi bakal terlalu mahal, jika sebuah barang publik dinikmati gratis sekelompok orang dan dibiayai oleh kelompok lain yang terzalimi, maka pemerintah bisa membantu ”relokasi”. Pemerintah perlu membantu. Hanya, membantu adalah kata kerja sementara. Dan seringkali pembantu perlu dibantu. Topik untuk diskusi yang lain, mungkin.

Kompromi Keynesian dengan begitu bukanlah pilihan biner antara pasar dan negara. Ia adalah tentang sempit-lebarnya pintu kita buka buat pemerintah, untuk masuk ke ruang bernama pasar. Di sini sepertinya kita perlu arif dan hati-hati: di dalam ruang itu ada proses-proses bernama demokrasi. Biarkanlah mereka bergerak dinamis tanpa pernah sampai. Sebab sekali ia sampai, ia bisa jatuh pada kesesatan atau kesetanan logika serta penghianatan preferensi konstituen. Cukup ia menjadi alat, menjadi kendaraan. Ia adalah piranti distribusi antara elit kekuasaaan dan warga negara. Elit membutuhkan rasa kuasa, dan uang. Warga negara mencari uang, atau kesejahteraan (yang selalu bisa ”diuangkan”).

Penengah di antara kedua gaya tarik-menarik ini mustinya adalah demokrasi: sebuah alternatif rasional yang lebih murah ketimbang revolusi – dengan segala kekurangannya. Ia bandul yang bergerak, dan sebaiknya bergerak, menjaga ekuilibrium dinamis di antara negara dan warganya. Lewat GM, kita tahu bahwa Laclau dan Moffe itu akan setuju dengan ini: kwasi-stabil, equilibrium yang bergerak. Kalau ia berhenti, ruang itu menjadi kaku. Konsensus, seperti dikuatirkan Robertus Robet. Mungkin memang kita bisa lebih nyaman denganproses bor Bill Liddle pada kayu keras, ketimbang ketika kayu itu akhirnya tembus berlubang – sampai, dengan kata lain. Rocky Gerung kuatir bahwa masalah demokrasi sebenarnya adalah ketegangan antara politik elektoral dan politik kewarganegaraan. Tapi justru demokrasi adalah jembatan di antaranya.

Tentu, kalau ia, demokrasi, bergerak terlalu liar, kita gugup. Maka kadang-kadang pintu itu kita buka, mengundang pemerintah untuk sesekali memperbaiki bandul, lalu keluar lagi dan menonton dari balik kaca. Asal demokrasi bergerak. Gerakan itu mungkin yang bisa menenangkan GM dari mimpi buruknya akan ”kurva lonceng” demokrasi. Baik atau buruk, bukankah SBY dulu datang dari ekor kurva? Betul bahwa seiring pergerakan hari, SBY pun merapat ke massa di tengah kurva lonceng. Sebagaimana Felipe Gonzáles Márquez atau bahkan Hugo Chavez.

Kita yang di dalam ruangan coba menikmati saja (atau kata Rizal Panggabean: terima dengan rasa dongkol dan sebal). Jika kita resah dengan kurva lonceng yang berat di tengah, kita ingat saja bahwa kurva itu masih punya ekor di kiri-kanannya, tempat di mana angsa hitam bermunculan mendadak. Apakah demokrasi Superman-Beckham-Papanya-Cynthia lebih baik daripada selingkuh di pucuk-pucuk pimpinan antarpartai? Kita tidak tahu. Mungkin tak perlu tahu, dan tak perlu buru-buru menjawab Dodi Ambardi: menjadi pelaku sejarah atau pencatat sejarah. Karena kepolosan tampaknya masih bisa berhelat. Tinggal pandai-pandai kita menangkap kairos.

Jakarta, 13 Mei 2009