Friday, April 25, 2008

Bhagwati's new book: PTA is, again, bad

Of course, I haven't got one (it's out June). But I think I can guess what is written there.

Friday, April 18, 2008

Hikayat Lebah Ratu

The following has nothing less to do with economics. It just so happened that a friend invited me to come to his book launch. I thought I heard it wrong when he said he also wanted me to say something about his poems. I had no idea what to say. So I just mumbled:


Hikayat Lebah Ratu: Membaca Nirwan Dewanto

Arianto A. Patunru
Penyuka Sastra

Ketika Bung Nirwan Dewanto memberitahu saya rencananya meluncurkan Jantung Lebah Ratu, reaksi saya ada dua. Pertama, saya sadar: saya ini awam puisi, bahkan tidak mengerti dunia puisi. Kedua, judul koleksi Bung Nirwan mengingatkan saya kepada sebuah artikel dalam Journal of Law and Economics tahun 1973, "The Fable of the Bees: An Economic Investigation" (Hikayat Lebah: Sebuah Penyelidikan Ekonomi) yang ditulis oleh Steven Cheung.[1]

Hikayat Lebah-nya Cheung adalah kritik terhadap kisah. Tepatnya, penggunaan kisah untuk argumentasi. Ideologi mungkin bukanlah asing dalam perjalanan ilmu, termasuk ekonomi. Namun ia tidak musti sakral. Ia butuh bukti teoretis atau empiris. Argumentasi pun dibubuhi kisah dan hikayat. Mudahnya ekonom menutur kisah demi memperkuat argumennya mengusik Cheung. Dua puluh tahun sebelum Cheung ekonom James Meade berkisah dan berhujjah: pemerintah perlu memberikan subsidi kepada peternak lebah, karena lebahnya, selain membuat madu, juga menyerbuk apel di tetangga sebelah. Tanpa subsidi, jumlah madu dan nektar terlalu kecil.[2] Kisah itu setali tiga uang dengan kisah Arthur Pigou, tiga puluh tahun sebelum Meade. Tentang sebuah pabrik dengan polusi yang mengganggu masyarakat di sekitarnya tanpa ada kompensasi dari pemilik pabrik. Pigou berkata, pemerintah perlu mengenakan pajak polusi, agar udara kembali jernih. Tanpa pajak, jumlah sulfur dan karbon terlalu besar.[3]

Steven Cheung ragu. Benarkah kisah-kisah itu? Kuatkah mereka mendukung argumen-argumen di atas mereka? Cheung kuatir, Pigou dan Meade telah terlalu tergesa-gesa. Maka ia pun turun, bertemu bercengkerama dengan sejumlah peternak lebah dan petani apel. Dan ia menarik nafas. Tanpa pajak dan subsidi, pasar telah bekerja di antara peternak lebah dan petani apel. Dalam musim ketika penyerbukan tidak diperlukan, peternak lebah membayar petani apel agar lebah si peternak boleh berumah di kebun si petani. Dalam musim sebaliknya, petani apel yang membayar peternak lebah agar para lebah sudilah menyerbuk ke sana. Pesan dari Cheung jelas: jangan buru-buru memutuskan. Datang dan lihatlah.

Begitulah yang saya ingat.

Karenanya, ketika Bung Nirwan mengirimkan Jantung Lebah Ratu, saya kira saya akan membaca puisi-puisi lebah bernada Cheung: kepercayaan kepada mekanisme alam, yang dipertegas oleh mata dan telinga telanjang. Tentang kehatihatian memberi ruang kepada kesimpulan manusia. Puisi-puisi yang memberi kredit sepantasnya kepada lebah dan nektar: bahwa ada pasar di antara mereka.

Ternyata. Sungguh lebih dari sekedar itu.

Membaca Bung Nirwan membuat saya terhenyak lemas. Betapa lebih besar ketidaktahuan saya. Saya ingat: sempat saya pernah bersombong dan menyangka diri punya sedikit, ya sedikit saja, keunggulan komparatif dalam membaca sastra di antara murid-murid ekonomi (sekalipun mungkin hanya menang lebih duluan membaca Ahmad Tohari dan Sapardi Djoko Damono).

Saya salah, rupa-rupanya.

Dan Jantung Lebah Ratu menegaskan itu. Ini berbahaya: lebih memalukan daripada prediksi makro yang meleset.[4] Bahkan kosakata pun banyak yang tidak saya pahami -- kalau bukan cerminan dari kekurangakraban dengan kamus. Ada ara-ara, pring, balam, alah, kalis, nyiru. Lalu terwelu, bengkarung, obsidian. Beginilah kalau hidup serba kering hanya dengan inflasi, insentif, dan regresi: baca puisi mati rasa. Celakanya lagi, teori ekonomi ternyata banyak kakunya dan yang ada pun sudah tergambar jelas di luar sana.

Bahwa tidak selamanya kopi dan air atau kopi dan susu adalah komplementer, seperti kita terima saja di kelas pengantar ekonomi mikro kemarin.[5] Tunggu dulu. Menurut Bung Nirwan, ada persaingan di antara air dan kopi. Ada substitusi.[6] Atau paling tidak naluri bersaing alih-alih bersekongkol atau dibuat bersekongkol dalam fungsi produksi. Betapa lugunya penyederhanaan oleh contoh-contoh dan kisah-kisah klasik buku teks. Karena sesungguhnya puisi memungkinkan dua barang bisa sekaligus komplementer dan subsitusi. Sekaligus bertarung, bersetubuh, membubung. Untuk kemudian jatuh menghujani bentang koran pagi.

Bahwa lebah ratu pun berhitung biaya versus manfaat. Sebelum memutuskan untuk membunuh atau memuaskan lebah pejantan. Atau kombinasi keduanya. Sekalipun ternyata korbannya adalah bayang-bayangnya sendiri. Sungguh, lebah pun tidak lepas dari konsekuensi yang serba tidak diniatkan.

Bahwa jangan-jangan memang mungkin ada lembar sepuluh dollar di jalan, tergeletak tidak menarik siapa-siapa yang melintas. Ratna Manggali adalah buktinya. Tapi kemudian, siapa berani dengan Calon Arang? Maukah Anda memungut lembar sepuluh dollar di jalan jika di sebelahnya mendesis ular berbisa? Syukurlah, untuk yang satu ini diktum ekonomi masih berlaku. Ketika Empu Baradah membinasakan sang ular, lembar sepuluh dollar pun lenyap.[7]

Bahwa mengajarkan efisiensi tidak melulu harus dengan kisah pakaian dan kue, dengan si A dan si B. Karena Bulan pun melakukannya, bersama Kesedihan. Bung Nirwan berkisah, Sang Bulan meminta kenikmatan yang lebih, ketika Sang Kesedihan sudah tidak bisa memberi lagi, kecuali melukai diri sendiri. Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth menyebut ini sebagai keseimbangan efisien.[8] Namun Bulan hanya tahu meminta dan Kesedihan hanya bisa menangis. Dan akhirnya efisiensi itu pun dirusak. Oleh pengorbanan Sang Kesedihan, mengupasi dirinya sedikit demi sedikit. Yang dikuncinya hanya cinta. Efisiensi memang bisa kejam.

Bahwa di Broadway, hanya di Broadway, ada titik optimum global. Di mana merah telah jenuh, walau tak pernah sampai ke surga. Kunang-kunang Manhattan bisa bersaksi. Bahwa ketika Marno dan Jane berpisah, masing-masing mereka akan terhempas ke titik yang tanggung, optimum yang lokal.[9] Para ekonom, holy grail yang kita cari itu ada di Broadway, hanya di Broadway.[10]

Bahwa laku teori permainan ada dalam setiap gerak.[11] Ketika menghauskan diri, agar dimasuki; ketika meringankan jantung agar dilayarkan; ketika mentanahkan agar dihujani. Dan tanggapan terbaik adalah mengejar, menghempas, dan menghunus. Nash equilibrium pada akhirnya adalah cinta yang berkelindan. Betapa sederhana, bahkan matematika pun tidak perlu.

Bahwa jauh sebelum ekonomi menjadi buku, Ular sudah mafhum rahasia Adam dan Hawa: insentif. Tidak ada yang lebih rentan daripada pasangan muda-mudi mabuk kepayang. Yang salah memilih discount rate.[12] Sehingga tuli dan akhirnya terkulai di tepi sungai. Dan Ular bersabda: maaf, tapi sampai kapan pun, akan kugoda anak Adam dengan desain mekanisme.[13]

Bahwa dunia tidaklah rata, seperti nyanyian cempreng Thomas Friedman.[14] Karena ada penjinak binatang, ada peniti tali. Ada Adam ada Hawa. Dan peziarah manapun tidak kuasa memaksa mereka bersepadan di jembatan mawar. Mengapa David Ricardo begitu cepat dilupakan? Kita berdagang, karena kita berbeda. Kita hidup karena kita berdagang. Maka janganlah bumi ini menjadi rata.[15] Tidak peduli betapa kencang Marx berteriak.

Bahwa ucapan terima kasih bisa cukup untuk membela diktum "tidak ada makan siang gratis".[16] Karenanya, berterimakasihlah kepada laut, tukang jagal, asparaga, juru museum, kentang bakar, padang rumput Chien, atau peluh lautan. Seperti lebah berterima kasih kepada nektar dan apel berterima kasih kepada serbuk sari sang lebah.

Maka jika Bung Nirwan berterima kasih kepada susu masam yang mengembarkan payudaranya dengan aprikot jingga, saya berterima kasih kepada Bung Nirwan, atas terapi sengat lebahnya ini. Yang mengembarkan kosa kata saya dengan merah dan darah. Salam buat Lebah Ratu.

GoetheHaus, 17 April 2008


[1] S. N. Cheung, "The Fable of the Bees: An Economic Investigation", Journal of Law and Economics, 16(1): 11-33, 1973.

[2] J. E. Meade, "External Economies and Diseconomies in a Competitive Situation", Economic Journal, 52, 1952.

[3] A.C. Pigou, Wealth and Welfare, 1912.

[4] Maksudnya, prediksi indikator-indikator ekonomi makro, seperti tingkat pertumbuhan, inflasi, dll.

[5] Dua barang yang bersifat saling melengkapi disebut komplementer. Implikasinya, kenaikan harga barang pertama menyebabkan penurunan permintaan atas barang kedua. Atau sebaliknya.

[6] Dua barang yang bersifat saling menggantikan disebut substitusi. Implikasinya, kenaikan harga barang pertama menyebabkan kenaikan permintaan atas barang kedua. Atau sebaliknya.

[7] Berdasarkan P.A. Toer, The King, The Witch, and The Priest, Equinox 2002.

[8] Ketika interaksi dua agen ekonomi telah mencapai situasi di mana tidak satupun yang bisa menambah kepuasan kecuali dengan menurunkan kepuasan agen yang lain, situasi ini disebut Pareto-efficient (dari nama Vilfredo Pareto). Ekonom yang menggambarkan keadaan ini secara grafis dalam apa yang disebut sebagai kotak Edgeworth adalah Francis Edgeworth.

[9] Salah satu analisis penting dalam mikroekonomi adalah identifikasi titik optimum (baik minimum ataupun maksimum). Karena semesta himpunan-nya besar, seringkali ekonom harus puas dengan apa yang disebut local optimum – kondisi optimal di sekitar daerah yang membatasi pengamatan yang relatif kecil. Ada kumungkinan terdapat titik lain di luar daerah amatan. Jika tidak ada, maka titik optimal tadi disebut global optimum.

[10] Berdasarkan U. Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Grafiti 2003.

[11] Maksudnya, game theory, salah satu instrumen utama dalam menganalisis interaksi antara agen ekonomi.

[12] Discount rate atau tingkat bunga diskonto adalah besarnya tingkat kemauan seseorang mengkonsumsi sesuatu saat sekarang dibandingkan masa yang akan datang. Semakin tinggi discount rate semakin cepat agen ekonomi mengkonsumsi barang pilihannya.

[13] Maksudnya, mechanism design, sebuah pendekatan mikroekonomi untuk menciptakan sistem insentif-disinsintif guna meminimumkan kemungkinan kecurangan salah seorang peserta interaksi.

[14] T.L. Friedman, The World is Flat, Penguin 2005.

[15] David Ricardo adalah ekonom yang mempopulerkan comparative advantage. Bahwa antara dua orang pasti ada yang unggul dalam A dan yang lain dalam B, dalam hal rendahnya biaya untuk memproduksi X.

[16] "There is no such thing as a free lunch". Contoh lembaran sepuluh dollar tergeletak di jalan adalah salah satu varian dari diktum ini.

Saturday, April 12, 2008

Arrogant minister

One Kompas reader wrote a letter about a minister who got mad because he was inspected by a security official at an airport. I could imagine, as if he were saying: "Look idiot, don't you see I am a minister? You can't run a physical check like this on your ministers! Get off me! I'm on state duty, so you back off!". Arrogant indeed. Well, maybe he was mad not because of the inspection but because he was not recognized? Because he did not forget the usual threat by state officials, that is, asking your name, as in "Give me your name, now. You'll regret what you just did to me!".

Wednesday, April 09, 2008

I fall asleep when I'm bored or when I feel peaceful

I couldn't help laughing at this news about President SBY being outraged by a participant who fell asleep while he was giving a speech ("Sleeping forum participant outrages President", The Jakarta Post, Wednesday, April 9). He asked others to wake this poor guy up and asked him to "go outside if you want to sleep". I have been in two occasions with SBY giving speech, live. They were boring. I fell asleep too, couple of times. Thank God the president didn't spot me! Well, come to think of it, SBY should have taken that as a compliment -- his voice is so soft and peaceful, you feel like listening to a lullaby. I'm surprised that only one person fell asleep.

In a call to my aunt this morning, we talked about the funny news. She, a long time admirer of Soekarno, said, "No one ever fell asleep when Soekarno was giving a speech". I guess Soekarno was not as peaceful then.

Tuesday, April 08, 2008

Freeing the ports

Here's part of the summary of Patunru, Nurridzki, and Rivayani (2008) that would appear as a chapter in D. Brooks and D. Hummels (eds), Infrastructure's Role in Lowering Asia's Trade Costs: Building for Trade (Edward Elgar). And yes, I'm happy with DPR's decision to pass the new maritime law that scraps Pelindo monopoly (Bisnis Indonesia today, 8/4/2008).

The study finds that there are some important trade-offs in choosing ports. Based on the survey, the implementation of certain regulations might affect port users to choose another port. Importers located in the hinterland of Tanjung Perak Port may prefer Tanjung Emas Port since customs in the latter is less strict than the former. This could imply on extra transportation cost since Tanjung Perak Port is relatively more distant. Another trade off is between location and safety in delivering the cargoes. Geographical condition could prompt the exporter to choose the more distant port to ensure that the cargoes are delivered safely.

Currently competition is not evident among ports in Indonesia. This is due to the fact that all ports are controlled by one authority, IPC. However, users demand that ports operate more efficiently. A certain degree of competition in port handling services might be needed to drive services providers to improve their performance. Higher competition could lead to more options for port users and in turns might alter their decision in favor of more efficient ports. In addition, the competition among ports is likely to be contagious to the hinterlands as they would themselves compete over the ports.

If the control of two ports falls into two different private bodies, the competition between the two ports is more likely. However, given the public nature of port services, privatization might have to be done gradually. A few key ports in Indonesia have taken the course partially and it is expected that the improvement continues to other ports as well. Obviously port competition is relevant only within a certain limit of geographical areas, as distance is a key factor in choosing a particular port. This implies that complete privatization of all ports are not necessary. Priority should be put on the most important ports.

However, drive to competition should also be seen as an opportunity to improve "soft infrastructure" with a focus on increasing efficiency. For example, privatization as a means to foster competition will force the port management to cut unnecessary clearance process and to eliminate any illegal collection.

The study recommends the authority to encourage competition among key ports in Indonesia. This might be achieved by gradually minimize the authority of IPC to manage the ports. One suggestion is giving opportunity for private operators to provide services to shipping lines and cargo owners. As of the time of writing, the government is preparing a draft of a new shipping law (UU Pelayaran). One of the issues that is being considered is the movement towards more competition and away from monopoly.




Monday, April 07, 2008

Needed: credibility

From today's The Jakarta Post, Vincent Lingga is right on ("Only credible contingency measures can reassure the market", April 7):

How could the government still claim the budget is anchored on prudent fiscal management when fuel, power and food subsidies will take up more than 23 percent of total spending this year?
 
How could the budget be seen as politically viable when energy subsidies alone will exceed budgetary appropriations for capital investment and social expenditure?

Friday, April 04, 2008

When subsidy is a norm

Proof that subsidy has become a norm here. From an article in today's The Jakarta Post (4/4/2008) -- emphases added:

Non-subsidized electricity costs between 17 and 22 percent more than normal rates.

Ideally, subsidy is an emergency help. That is, it should not become a permanent policy. But the fact that people perceive non-subsidy as not normal is a reflection of thinking the other way around.

Without altering the meaning, I could have written, otherwise, as follows:

Subsidized electricity costs between 17 and 22 percent lower than normal rates.

Wait, maybe it does alter the meaning.

Thursday, April 03, 2008

Hating X does not mean asking for a ban on it

I hate high price when I shop. But I don't think asking the authority to impose a ceiling is going to be effective. What I do is bargain. Sometimes the price gets reduced a little bit and I am reasonably happy: although it is still higher than what I first bargained but definitely lower than what I was willing to pay. More often, though, the seller beats me in the negotiation process. For which case, I will postpone the buying (if my 'discount rate' is low), or go somewhere else or buy something else.

Now, you can change the term 'high price' into anything that might bother you: stupid words or phrases, crazy Dutch film-maker, Cinta Laura, disillusioned Health Minister Sapari, Andrea Hirata's economics, anything.

Furthermore, you are free to tell people what you feel: I hate Paula Abdul and Titi DJ, I love Sandra Dewi, and so on, and so on. Others will debate you, will ridicule your taste. Fine. You can't debate taste but you can express what you like or dislike. And others have the right to disagree.

Without having to ask for regulation or banning or anything like that.

Wednesday, April 02, 2008

The Politics of Rice 28

Yes, why have I not commented on the rice export ban?

Well maybe the right word is fed up. I'm fed up with the statements from Menteri Pertanian, HKTI people, people hijacking farmers' name, economic observers who claim to know price mechanism but clearly reveal otherwise, Prabowo's campaign on TV, and so on and so on.

Don't tell me you love farmers, dudes. Because that's bullshit.